
Animal Farm
-
Ditulis olehWiraningtyas
-
Dibuat tanggal
24 Jun 2025
-
Sekolah
SMA NEGERI 10
VANIA
Pendahuluan:
Yogyakarta : Fiksi, Alegori, Fabel : 144 halaman Animal Farm adalah salah satu karya sastra paling ikonik dan mashyur dari George Orwell. Gaya kepenulisannya yang tajam dalam mengritik suatu sistem politik ia tuangkan dalam karya sastra bernafas alegoris/satir politik. Novel yang terbit di tahun 1945 ini menarik perhatian dunia karena keberaniannya mengungkap kebobrokan pemerintahan totalitarian, khususnya rezim Stalin di Uni Soviet melalui sebuah cerita fabel. Buku ini saya pilih karena mencerminkan gambaran kenyataan sosial dan politik manusia. Meskipun tulisannya dikemas dalam bentuk fabel, Animal Farm berhasil menggambarkan dengan cukup jelas kegagalan revolusi dan lahirnya rezim tiran dari idealisme yang pernah dijunjung tinggi.
Intisari:
Bermula pada suatu malam, Major si babi tua yang bijaksana mengumpulkan para binatang di peternakan milik Tuan Jones. Ia bercerita tentang mimpinya, yaitu pembebasan hewan dari tirani manusia. Mimpi itu disambut baik oleh para hewan penghuni peternakan. Tak lama kemudian, pemberontakan benar-benar terjadi di bawah kepemimpinan dua babi cerdas: Snowball dan Napoleon. Para hewan berhasil menggulingkan kekuasaan manusia dan membentuk masyarakat yang adil dan setara serta bebas dari penindasan manusia. Dengan semangat revolusioner, mereka menciptakan tujuh prinsip “Animalisme” yang mengedepankan kesetaraan, kebebasan, dan persaudaraan.
Waktu berjalan, idealisme mulai berubah, dan kekuasaan sungguh memabukkan. Satu di antara babi cerdas tersebut mengkhianati prinsip-prinsip revolusi demi kepentingan pribadi dan kelompok kecil elit babi. Slogan revolusi, “Semua hewan setara,” perlahan berubah menjadi “Semua hewan setara, tetapi beberapa hewan lebih setara daripada yang lain.”
Melalui kisah ini, Orwell menyoroti bagaimana kekuasaan absolut akan cenderung korup, bahkan ketika muncul dari niat yang tampaknya mulia. Revolusi yang mulanya bertujuan membebaskan rakyat sering kali justru melahirkan rezim baru yang lebih represif. Ia memperlihatkan bagaimana propaganda, distorsi kebenaran, dan penindasan bisa terjadi di masyarakat. Masyarakat yang pasif, tidak kritis, dan mudah dimanipulasi akan selalu menjadi korban dari kekuasaan yang tak terkendali.
Analisis:
Animal Farm ditulis dengan gaya naratif sederhana khas dongeng, berlatar Peternakan Manor di Inggris. Orwell menyampaikan cerita dengan efisien, lugas, dan tanpa pernak-pernik yang berlebihan. Justru dari kesederhanaan itulah timbul makna-makna tentang kekuasaan, korupsi, manipulasi bahasa, dan pengkhianatan terhadap rakyat kecil.
Struktur cerita dibangun secara linear tanpa alur yang rumit. Setiap peristiwa yang terjadi membawa makna yang dalam dan simbolisme menjadi kekuatan utama novel ini. Seluruh karakter dan peristiwa dalam peternakan adalah cerminan dari dinamika politik dan sosial yang nyata. Penambahan babi ke dalam elit kekuasaan, penghapusan lagu revolusi, hingga pertemuan damai antara hewan dan manusia pada akhir cerita adalah metafora dari bagaimana cita-cita dapat dikompromikan demi kepentingan elit baru.
Novel ini merupakan alegori dari Revolusi Bolshevik/Revolusi Rusia di tahun 1917 yang menjadi cikal bakal berdirinya Uni Republik Sosialis Soviet (USSR) sebagai negara sosialis pertama di dunia dan kebangkitan komunisme di Uni Soviet. Alih-alih ideliasme komunisme berjalan lancar, justru berubah menjadi Stalinisme yang otoriter. Orwell menggunakan karakter hewan untuk menggambarkan tokoh-tokoh sejarah seperti Joseph Stalin (Napoleon), Leon Trotsky (Snowball), Lenin (Old Major), dan hewan-hewan lainnya yang merepresentasikan berbagai elemen masyarakat: rakyat biasa, kaum buruh, kaum intelektual, dan kaum birokrat.
Tema utama dalam novel ini adalah penyimpangan kekuasaan, pengkhianatan terhadap idealisme revolusi, dan kritik terhadap sistem totalitarianisme. Meski berakar pada kritik terhadap Revolusi Rusia dan rezim Stalin, Animal Farm tetap relevan dalam konteks sosialpolitik global hingga saat ini, termasuk bagi pembaca Indonesia yang akrab dengan sejarah otoritarianisme dan manipulasi kekuasaan.
Evaluasi:
Buku ini memberikan gambaran sederhana tentang totalitarianisme dan pengkhianatan revolusi yang kerap terjadi di berbagai era sosial politik melalui cara penyampaian kritik sosial yang unik dan menggugah. Kelebihan lain dalam buku ini, yakni pengemasan kisah sosial politik yang dibungkus dalam cerita fabel sehingga mudah dipahami bagi pembaca pemula sekaligus mampu membangun kesadaran kritis pembaca. Meskipun ditulis lebih dari 70 tahun lalu, pesan moral dan politiknya tetap relevan hingga saat ini. Orwell mampu menghidupkan karakter hewan yang mewakili beberapa tipe manusia. Selain itu, Prof. Bakdi Soemanto yang menerjemahkan novel ini ke Bahasa Indonesia berhasil menyampaikan pesan Orwell dengan sangat apik. Penggunaan diksi yang tepat, alur kalimat yang mengalir, serta penyampaian nada sarkastik Orwell tetap terasa kuat dan selaras untuk pembaca Indonesia.
Tentu saja novel ini tidak luput dari kekurangan. Karena bersifat alegoris, beberapa karakter kurang berkembang dari segi emosional karena lebih berfungsi sebagai simbol ideologi. Kemudian, pembaca yang tidak akrab dengan Revolusi Bolshevik/Revolusi Rusia mungkin kehilangan sebagian makna novel ini. Di samping itu, bagi sebagian pembaca, pesan moralnya terasa pesimis sebab novel ini tidak menawarkan harapan atau solusi, hanya memperlihatkan kenyataan pahit yang akan terasa suram bagi sebagian pembaca.
Kesimpulan:
Dalam dunia yang terus berputar dengan siklus kekuasaan dan penindasan, buku ini menjadi pengingat bagi pembaca bahwa revolusi yang mulanya bertujuan baik bisa gagal, karena pelakunya lupa pada nilai yang diperjuangkan. Kekuasaan mutlak dan tanpa kontrol akan cenderung korup, apa pun ideologinya.
Animal Farm adalah karya klasik yang tak lekang oleh waktu. Bukan hanya menghibur, tetapi juga menggugah pikiran. Melalui fabel sederhana, George Orwell menyampaikan kritik tajam terhadap kekuasaan absolut, penyimpangan ideologi, dan bagaimana idealisme dapat dikorupsi oleh ambisi. Dalam versi terjemahan Prof. Bakdi Soemanto, buku ini menjadi lebih dekat dan relevan untuk pembaca Indonesia tanpa kehilangan orisinalitasnya. Meski hanya sebuah fabel, kisah ini mencerminkan kenyataan pahit tentang politik, kekuasaan, dan pengkhianatan terhadap rakyat. Buku ini menjadi karya sastra penting dan patut dibaca oleh siapapun yang ingin memahami bagaimana kekuasaan bisa merusak idealisme.
0 komentar