
Jejak Langkah
-
Ditulis olehDaffa Alma Ardiona
-
Dibuat tanggal
17 Oct 2024
-
Sekolah
UPT SATUAN PENDIDIKAN SMPN 1 PURWOSARI
"Sudah lama aku dengar dan aku baca ada suatu negeri di mana semua orang sama di depan Hukum. Tidak seperti di Hindia ini.
Kata dongeng itu juga:
negeri itu memashurkan, menjunjung da memuliakan kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Aku ingin melihat negeri dongengan itu menjadi kenyataan. "~Pramoedya Ananta Toer~
Itulah kata dari penulis novel "Jejak Langkah" yang juga merupakan novel ketiga dalam Tetralogi Pulau Buru, Yang Dibahas dan Dinilai adalah Terbitan Lentera Dipantara (2012). Pak Pram ingin mewujudkan pernyataannya itu dalam sebuah novel, walaupun fiksi dalam kenyataan tapi nyata dalam fiksi. Novel ini merupakan kategori Fiksi Sejarah dan dalam pengantarnya lebih akrab disebut "Roman Sejarah" dengan mengambil latar belakang sejarah Kebangkitan Nasional yang jarang tertulis dalam kesastrawanan Nasional. Novel ini ada juga sejarah, sementara novelnya sendiri menceritaan sejarah. Apa maksudnya? Novel ini awalnya cerita-cerita yang dibawakan Pramoedya kepada para tahanan Pulau Buru semasa di asingkan dan ditahanan disana akibat keterlibatan G30SPKI, sementara novelnya sendiri menceritakan sejarah Kebangkitan Nasional yang berbeda dengan buku sejarah sekolah-sekolah yang ada membatasi pembaca dengan sejarah itu sendiri. Pramoedya ingin mengajak para pembaca selain mengetahui, juga memikirkan, merasakan, bahkan diri sendiri untuk bertarung dengan gejolak gerakan nasional awal abad.
Novel ini mengisahkan Minke seorang pemuda pribumi dengan gelar "Raden Mas" karena ayahnya merupakan seorang Bupati di Jawa Timur. Setelah banyak pengalaman ia dapatkan, yang terceritakan di Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Kini, pada awal abad ke-20, dia pergi ke Betawi alias Batavia, Ibu Kota Hindia Belanda, yang sekarang adalah Jakarta. Disana ia bersekolah di STOVIA "School tot Opleiding van Inlandsche Artsen" sekolah kedokteran yang dapat ditempuh oleh pribumi. Suatu ketika ia mendapatkan undangan dari Twedee Kamer dalam acara interview dengan para petinggi Gubermen (Pemerintah Kolonial Hindia Belanda) akibat dari tulisan-tulisan Minke sebagai kaum pribumi terpelajar. Sejak saat itu, kedudukannya naik dan menjadi cikal bakal pertemanannya dengan Jenderal Van Heutz yang nantinya akan menjadi Gubernur Jendral yang setara dengan Presiden pada zaman sekarang.
Mengantar wasiat dari sahabat lamanya Khouw Ah Soe kepada Aang San Mei, membuat Minke sempat jatuh hati kepadanya. Mengingat Minke sudah kehilangan Annelies Bunga Akhir Abad, Bumi Manusia. Minke dan Aang San Mei membicarakan banyak hal, seperti pergerakan yang dilakukan oleh Kaum Tionghoa dengan organisasi T.H.H.K dan musuhnya, bagaimana bangsa Tionghoa sampai merantau ke Hindia Belanda, dan sampai meranah soal hati. Sempat mengetahui, Mei adalah tunangan mendiang sahabatnya, hidup sendiri dengan kondisi tidak meyakinkan dan menyukai kecantikannya, membuat Minke sangat perhatian. Hanya butuh 70 halaman, Pramoedya melanggengkan puncak cinta Minke dan Mei, dan butuh 70 halaman, untuk mengakhiri kehidupan Mei dalam cerita. Mati dibawah perhatian tengah malam Minke akibat kelelahan melakukan gerakan organisasi bangsanya. Gagal menjaga Mei, gagal menjadi dokter, yang menjadi wasiat Mei kepada Minke.
Teringat dengan perkataan dokterjawa di sekolahnya, Minke mendapatkan berbagai informasi, keberanian dan surat dari teman serta kenalannya yang membuat Minke segera bergerak untuk membuat organisasi pertama bagi pribumi. Segera ia berusaha mencari orang-orang penting. Bertemulah ia dengan Patih Meester Cornelis, Thamrin Mohammad Tabrie dan para priyayi (sama dengan PNS) . Terbentuklah organisasi bernama "Syarikat Priyayi" dengan Thamrin Mohammad Tabrie sebagai presiden dan Minke sebagai sekretaris. Sekaligus ia mendirikan media koran pertama milik pribumi dengn nama "Medan Priyayi" untuk menyebar propaganda, menegakkan keadilan bagi pribumi dan boycott terhadap Gubermen.
Berdirinya dan berjayanya Budi Utomo, meredupnya Syarikat Priyayi, dan kedekatan Minke dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Heutz, mewarnai tengah-tengah jalan cerita. Sempat bergabung karena Syarikat Priyayi tak ada harapan untuk berkembang, Minke pun akhirnya keluar dari B.O atas syarat harus berbangsa Jawa. Padahal Hindia Belanda terdiri dari bangsa ganda dan bukan bangsa tunggal. Setelah keluar, ia fokus lagi terhadap media korannya untuk menyebarkan boycott semacam gerakan untuk memberikan fakta perihal ketidakadilan para petinggi perusahaan dan pemerintah setempat.
Beberapa ancaman menghampirinya, tapi ancaman itu tak mencederai fisiknya, sehingga Minke tetap dapat meneruskan untuk membuat koran bahkan Harian! Bertemunya Prinses Van Kasiruta dan Ayahandanya serta dukungan dari temannya sendiri, Gubernur Jenderal Van Heutz sehingga membuat Minke menikahi Prinses. Kisah cinta sejati, setara, setia dan harmonis membuat indah cerita sampai pengasingan Minke di luar pulau jawa.
Dua tahun setelah S.D.I berdiri, ancaman menghampirinya hingga ia ingin menyebarkan propaganda di luar jawa, pemberitaan ia serahkan kepada anak buahya.
Suatu ketika ingin keluar, anak buahnya membuat berita menggemparkan mengenai rombongan Gubermen dalam melayat ke Bupati Rembang. Hal itu membuat, "Medan Priyayi" mengalami kemunduran tajam, tak lama kemudian, Minke didatangi oleh polisi. Polisi itu sendiri adalah teman bicara sekaligus pengagumnya, pangemanann dengan dua n di belakang namanya. "Tugas yang tidak menyenangkan terhadap seorang manusia yang aku kagumi dan hormati," katanya, "manusia yang telah mulai mengubah wajah Hindia." Selesai sudah cerita dengan penangkapan Minke dan diasingkannya dia luar pulau jawa, entah kemana dia diasingkan, dalam buku tak disebutkan.
Alur cerita yang cepat dari awal abad ke-20 berarti 1900 sampai diasingkannya Minke, tahun 1911. Buku yang sangat tebal, tentu berisi daging yang penuh kaya akan bumbu dan bau harum serta enaknya daging itu. Berbagai topik dibahas seperti, percintaan, penindasan, keberanian, ketidakadilan dengan tema utama yaitu Kebangkitan Nasional, Pramoedya sbagai penulisnya berhasil menulis cerita yang sangat menarik dengan gaya bahasanya yang begitu beragam, berhasil membuat setiap tokoh memiliki wataknya sendiri-sendiri.
Sebagai buku yang sudah tertulis sejak 1985, tentu ada kekurangan dari segi struktur kebahasaan, mengingat ini novel lama. Tapi, permasalahannya masih relevan hingga 2024 saat ini, permasalahan dalam novel itu adalah kenyataan yang sedang terjadi. Novel lama ini perlu disebarluaskan, banyak pembahasan dalam novel membuat pikiran kritis muncul. Sebagai pembaca zaman sekarang, mungkin agak kesulitan ketika membacanya, tapi dialog dan monolog begitu menarik sampai lupa apa yang seharusnya dipahami. Buku ini cocok untuk berbagai kalangan sesuai bab-bab tertentu. Setiap bab ada yang dituju untuk pelajar, ada yang untuk jurnalis, untuk penguasa, dan pribumi sendiri. Saya harap, Lentera Dipantara memproduksi lagi, mengingat susahnya menemukan yang asli dan banyaknya bajakan karena juga kelangkaannya. Nasionalisme, patriotisme, toleransi, menghargai, menghormati, cinta sejati, dan keadilan dapat kalian temukan dalam cerita ini. Terimakasih telah membaca, kita bertemu lagi di resensi selanjutnya
0 komentar