
Filosofi Teras
-
Ditulis olehAhmad Ramadhan Al Muthohari
-
Dibuat tanggal
28 Jul 2024
-
Sekolah
SMP Pesantren IMMIM Makassar
Kalian pasti sudah tahu buku ini. Terbit pertama kali pada tahun 2018 Filosofi Teras adalah buku non fiksi yang ditulis oleh Henry Manampiring dengan ukuran 14 x 21 cm serta total 326 halaman. Sebagai perayaan cetakan ke-25nya, buku ini dibalut dengan sampul yang baru. Buku yang telah memenangkan penghargaan Book of The Year di Indonesia International Book Fair 2019 dan juga menjadi Mega Best Seller berisi tentang keadaan emosional para milenial, spesifiknya tentang kekhawatiran mereka dan cara mengurangi rasa khawatir tersebut dengan aliran filosofi yang kuno.
Buku ini dimulai dengan hasil dari “Survei Khawatir Nasional” yang memiliki 3.634 responden. Survei ini ditujukan pada generasi milenial, yaitu mereka yang lahir di tahun 1980-2000. Berdasarkan survei tersebut, ada 2 dari 3 orang yang khawatir secara umum. Kebanyakan orang pasti mengira kekhawatiran itu normal, dan tidak perlu dikhawatirkan. Akan tetapi menurut penulis, kekhawatiran itu bisa dikurangi, dan sebaiknya begitu karena kekhawatiran bisa menghabiskan waktu pikiran, energi dan uang, dan juga menganggu Kesehatan tubuh (gangguan psikis itu bukan gila, tapi sebenarnya berkaitan dengan funsi organ tubuh dan kimia otak).
Lalu bagaimana cara mengurangi kekhawatiran tersebut? Perkenalkan, Stoisisme. Filosofi ini berasal dari 300 tahun sebelum Masehi atau 2.300 tahun yang lalu. Seorang pedagang kaya dari Siprus (sebuah pulau sebelah Selatan Turki) Bernama Zeno melakukan perjalanan dari Phoenicia ke Peiraeus dengan kapal laut. Zeno membawa pewarna tekstil warna ungu yang saat itu sangat mahal karena dianggap sebagai simbol royalitas dan digunakan sebagai pewarna jubah raja-raja. Nasib, kapal Zeno karam, semua pewarna tekstil itu jatuh dan Zeno terdampar di Athena. Ia kehilangan harta benda dan menjadi orang asing yang luntang-lantung di kota asing. Suatu hari disitu, Zeno menemukan buku filsafat yang menarik hatinya lalu bertanya pada pemilik toko buku Dimana bisa bertemu dengan filsuf-filsuf seperti penulis buku itu. Dan kebetulan, Crates, seorang flilsuf aliran Cynic. Melihat Crates, si penjual buku menunjuknya dan Zeno pergi untuk belajar ilmu filsafat padanya.
Zeno belajar dengan berbagai filsuf lainnya dan mulai mengajar filosofinya sendiri. Ia senang mengajar di sebuah teras berpilar (yang dalam bahasa Yunani disebut stoa). Dari Zeno, filsafat ini dilanjutkan dan dikembangkan oleh para filsuf lain seperti Chriysippus dari Soli, Yunani, yang dianggap sebagai pendiri kedua Stoisisme. Kemudian, Stoisisme meredup pada abad ke-4 dan mulai populer di abad ke-21 di bumi belahan Barat. Dan tidak seperti berbagai filosofi lainnya, Stoisisme bersifat sangat practical dan juga bisa dilakukan di kehidupan sehari-hari.
Orang yang memiliki masalah emosi bisa berubah drastis dengan mempelajari fiosofi ini, seperti sang penulis. Stoisisme dapat membantu kehidupan sehari-hari orang yang mempelajarinya dengan menjalani hidup lebih tentram dan tidak mudah terganggu. Satu hal yang dapat ditemui saat mempelajari Stoisisme adalah banyaknya prinsip-prinsip serupa yang diajarkan agama, orang tua, nasihat kakek-nenek, ‘quote’ orang besar atau berpengaruh, sampai budaya asli Indonesia. Hal yang terutama ingin dicapai oleh ajaran Stoisisme adalah; hidup yang bebas dari emosi negatif, dan hidup mengasah Kebajikan atau virtues, Kebajikan tersebut ada 4 yaitu; Kebijaksanaan (Wisdom), Keadilan (Justice), keberanian (Courage), dan kesabaran atau menahan diri (Temperance).
Buku yang sangat bermanfaat dan relevan bagi generasi muda saat ini yang sering dihidapi kekhawatiran yang berlebihan. Sejatinya, ini buku yang berisi ajaran dari kurang lebih 2.000 tahun yang lalu, namun ajaran tersebut masih dipraktikkan sampai saat ini. Ilustrasi dari buku ini seakan cemilan yang bisa mengundang tawa dan memvisualisasi isi dari bab yang sedang dibaca. Juga bahasa yang digunakan tidak terlalu baku dan terasa seperti ngobrol dengan teman sendiri. Dan alasan dinamakan Filosofi Teras adalah karena kebanyakan orang Indonesia kesulitan menyebut ‘stoisisme’ , maka disebut sajalah Filosofi Teras yang merupakan terjemahan langsung dari kata ‘stoa’.
Sangat disarankan bagi anak-anak muda, apalagi yang patah hati (karena ditinggal pacar bukan akhir dari segalanya, bro!). Isinya yang sangat relatable memberi kesan yang ramah tentang filosofi ini. Juga cara mempraktikannya, benar-benar tidak rumit. Maka dari itu tunggu apa lagi? Cepat baca buku ini!
0 komentar