book

Bukan Pasar Malam

0
  • book
    Ditulis oleh
    Ni Kadek Cinta Laura Suryantini
  • Dibuat tanggal
    25 Jul 2024
  • Sekolah
    Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Denpasar

Suara Manusia yang Penuh Rasa Sesal 

 

Judul buku : Bukan Pasar Malam

Penulis : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit : Lentera Dipantara

Desain Sampul : Ong Hari Wahyu

Tebal : 106 halaman 

ISBN : 978-979-3820-03-3

Cetakan : Cetakan ke 4, April 2004

 

 

 

 

Bagaimana seseorang yang dihantui rasa penyesalan sedemikian hebat menjalani hari-harinya? Menghadapi perasaan gamang saat maut mendekat? Tokoh Aku pada novel karangan Pramoedya Ananta Toer membagi kisahnya memendam sesal.

 

Penyesalan akan selalu datang dan akan dirasakan oleh semua orang. Demikian pula tokoh Aku pada buku ini yang juga mengalami penyesalan bertubi-tubi. Buku ini berkisah tentang hubungan tokoh Aku dan ayahnya. 

 

Bermula dari sebuah surat yang diterima tokoh Aku menyatakan bahwa ayahnya terkena sakit keras hingga batuk berdarah darah berkali-kali. Paman dari tokoh aku juga mengirimkan surat yang berisi permintaannya untuk tokoh Aku pulang ke Blora menjenguk ayahnya. Karena sang paman berpikir bahwa ayah dari tokoh Aku tidak dapat bertahan hidup, sebab penyakit yang dideritanya itu sudah sangat parah.

 

Aku, yang menunda pulang sangat lama karena permasalahan ekonomi pun memiliki masa lalu yang kelam. Penindasan yang dilakukan oleh kaum kolonial pada masa itu sangat mengerikan. Ia ditangkap dan dipenjara karena berbagai sebab tidak jelas di masa-masa pasca kemerdekaan. Setelah meminjam uang pada kawan-kawannya, tokoh Aku dan istri melakukan perjalanan kereta menuju Blora, kampung halamannya. 

 

Dalam perjalanan mengarungi rel, ia berkisah mengenai setiap tempat yang mereka lintasi. Tiap lokasi membuatnya mengingat kembali kenangan pilu dan penyesalan yang begitu hebat. Hal ini diperparah dengan sikap istri yang selalu merongrong untuk tidak lama-lama di Blora dengan alasan tuntutan ekonomi. 

 

Sesampai di Blora, badai kenangan menghantam kesadarannya. Ia teringat perjuangan sang ayah menolak tawaran Belanda untuk berpolitik dan menjadi perwakilan rakyat. Ayahnya lebih memilih menjadi seorang guru yang ingin membantu anak-anak penerus bangsa pada masa itu untuk mendapat pendidikan. Ia tak mau menjadi badut pada masa itu, karena apabila ia mengambil pekerjaan itu ia akan membodohi masyarakat. Sang ayah yang selalu menunggu kepulangan tokoh Aku dengan sukacita, surat demi surat yang dikirimkan menghantui sang tokoh dan akhirnya membentuk penyesalan terbesar dalam hidupnya.

 

Buku karangan yang ditulis oleh sastrawan yang telah hidup lintas jaman ini memiliki balutan aura mistik dan religius. Ia pun berbagi cerita mengenai sedikit rekaman situasi pada masa pasca kemerdekaan indonesia. Buku karya Pramoedya selalu memberikan pandangan baru bagi siapapun yang membacaq. Banyak kata kiasan yang dapat menjadi wejangan bagi anak-anak muda saat ini melalui situasi-situasi sosial yang terjadi. 

 

Pengalaman tokoh Aku yang menyesali kelakuannya pada sang ayah terekam rapi pada buku ini. Kata yang paling membekas dalam buku ini “cukup, anakku, sekian dulu. Pergilah engkau semua tinggalkan aku sendirian”. Inilah ungkapan terakhir sang ayah pada anak sulungnya sebelum ia berpulang ke rumah Tuhan. Pengarang memberikan pesan pada pembaca sebuah kesadaran yaitu semua yang terlahir pasti akan kembali kepada Tuhan, hanya menunggu kapan saat itu tiba.

 

Meski akhir buku ini mudah ditebak, namun kepiawaian Pramoedya merajut kisah pilu membuat pembaca bertahan hingga akhir cerita. Banyak percakapan dilakukan oleh tokoh Aku dengan orang-orang terdekatnya yang membuat pembaca seakan-akan ikut tergabung dalam pembicaraan-pembicaraan intim tersebut.

 

Novel ini dipublikasikan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun 1951 dan mendapatkan sambutan hangat hingga telah diterjemahkan ke enam bahasa. Kisah ini menggambarkan rasa penyesalan yang begitu besar serta memperlihatkan kepiluan rakyat di masa pasca kemerdekaan. 

 

Buku setebal 106 halaman ini mengandung kisah pedih kehidupan masyarakat yang membuat pembaca tersentuh oleh pergulatan hidup tokoh Aku dalam penggalan buku ini. Selain itu bahasa yang digunakan sangat unik, generasi muda patut membaca buku ini untuk menambah pemahaman mengenai kehidupan sosial di masa pasca kemerdekaan. Sampulnya yang sederhana juga menjadi daya tarik tersendiri. 

 

Mari membaca “Bukan Pasar Malam,” karya Pramoedya Ananta Toer, kita selami penyesalan tokoh Aku sekaligus menghayati kehidupan Indonesia di masa itu karena dengan belajar dari kisah-kisah inilah rasa kemanusiaan kita akan terasah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Judul Buku Bukan Pasar Malam
Penulis Pramoedya Ananta Toer
ISBN 978-979-3820-03-3
Bahasa Indonesia
Tahun Publikasi 1951
Penerbit Lentera Dipantara
Jumlah Halaman 106

0 komentar

Buat komentar