
Tarian Bumi
-
Ditulis olehLuna Nur Fathia
-
Dibuat tanggal
19 Jul 2024
-
Sekolah
Sekolah Menengah Atas Dwiwarna (Boarding School)
Tarian Bumi adalah salah satu karya dari Oka Rusmini yang diterbitkan pada tahun 2007 di kota Jakarta serta telah memasuki percetakan kelima di tahun 2022. Beliau akan mengajak kita untuk menyelam dalam isu yang berkontraksi antara feminisme dan kehidupan perempuan Bali di dalamnya.
“Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. Mereka lebih berpeluh. Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka, mereka menyusui hidup itu sendiri.”
Beliau saat ini tinggal di Denpasar, Bali dan atas karya nya ini, beliau diberikan penghargaan Penulisan Karya Sastra 2003 oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Bersiaplah untuk hanyut dan merasakan isu-isu yang dihadapi oleh perempuan Bali akan adat istiadat nya yang kaku dan kental. Penulis akan mengajak kita untuk berfikir dan menyusuri setiap konflik-konflik yang ada hingga menjadi satu kepaduan yang utuh dari kacamata konflik sosial.
Telaga adalah seorang anak perempuan yang amat jelita, polos, dan kekanak-kanakan. Ia selalu dapat membanggakan ibunya dengan usahanya yang ia raih di sekolah. Namun siapa sangka, hidupnya sangat jauh dari kalimat “keluarga cemara.”
Ibunya adalah seorang penari Bali. Konon katanya, ia telah diberi taksu oleh para Dewa-Dewa hingga siapapun yang melihatnya menari, akan terbawa arus oleh api asmara yang amat panasnya. Namun sayangnya, ibunya bukan berasal dari kasta Brahmana asli, melainkan ia hanya dipersunting oleh sang mempelai pria berkasta Brahmana yang terbawa arus oleh gejolak api asmaranya. Meskipun begitu, ibunya tetap dianggap dan ditindas sebagai seorang perempuan sudra.
“…Pergilah! Kau jangan menangis. Jadilah perempuan baru. Perempuan yang memiliki harga diri, kekuasaan, dan impian besar. Jangan menangis! Aku tak pernah mendidikmu jadi perempuan cengeng!”
Perjalanan sang ibu yang terlahir kembali menjadi kasta Brahmana bermulai dari sini. Ia dihadapi oleh berbagai konflik yang terus terkulik setiap engkau membuka halamannya. Marah, dendam, pasrah, telah menjadi makanan sehari-hari baginya. Ia terus dipermainkan oleh segumpal daging tanpa harga diri bernama laki-laki pengecut itu.
“Carilah perempuan yang mandiri dan mendatangkan uang… Perempuan tidak menuntut apa-apa. Mereka cuma perlu kasih sayang, cinta, dan perhatian. Kalau itu sudah kita penuhi, mereka tak akan cerewet. Puji-puji saja mereka. Lebih sering bohong lebih baik…”
Tanpa disadari, doktrin tersebut sudah mengakar kuat, sangat amat kuat di lingkungannya. Sang ibu pun mau tidak mau mengikuti arus doktrin tersebut. Setiap kali sang ibunya berhadapan dengan aturan aneh, Telaga tak kunjung lelah bertanya, inikah artinya menjadi perempuan Brahmana? Menjunjung tinggi harkat martabat keluarga bahkan menindas dan memberikan gap bagi seorang perempuan berkasta sudra yang telah melahirkan dan meminjamkan rahim untuk ibunya selama sembilan bulan hanya karena perbedaan kasta?
Bagi Telaga, ia akan mengikuti saran dari neneknya untuk bergantung bagi laki-laki yang sungguh-sungguh ia cintai, bukan hanya karena kagum semata. Namun pilihan itu sangat amat sulit karena ia harus mendobrak tembok yang sangat tinggi, tembok yang dahulunya telah dibangun oleh ibunya dengan jerih payah, keringat dan harga diri untuk melindungi dan menyanggupi Telaga. Tetapi sepertinya, cinta telah membutakan seorang perempuan berkasta Brahmana…
Narasi yang tertuang dalam novel ini dibentuk dengan sangat ciamik. Kita akan dihanyutkan dengan penggunaan diksi yang sangat frontal namun memiliki makna yang amat berarti. Penulis berhasil menggubris idenya menjadi suatu kesatuan narasi yang utuh dan saling bersinggungan.
Konflik yang ada dalam narasi sangat bertebaran dan sebagai pembaca, kita akan diajak untuk berpikir kritis dan memadukan segala konflik yang tertuang. Setiap tokoh dalam narasi memiliki konflik internalnya masing-masing, bahkan termasuk tokoh tambahan yang sifatnya hanya menghidupi tokoh utama di beberapa lembar dan akan lenyap di lembaran selanjutnya.Dialog yang tertuang dalam narasi juga dipadukan dengan beberapa kata bahasa Bali. Hal itu tentunya mendukung latar tempat dan nama yang digunakan oleh tokoh-tokoh yang ada.
Perempuan Bali adalah perempuan yang kuat dalam bertahan dan berusaha mendobrak atas kekakuan adat istiadat yang ada. Meskipun seringkali tertindas dan dimanfaatkan sepenuhnya, mereka tidak menyerah dan tetap memperjuangkan hidupnya sampai titik darah penghabisan. Saya sangat terharu ketika membaca dialog bahwa ibu dari Telaga bahkan bertahan hanya untuk menghidupi Telaga dan memastikan bahwa ia dapat menopang hidupnya.
​​​​​​​Sejujurnya, saya tertarik untuk membaca buku ini karena sampul nya yang menarik. Penambahan kata “Bali” meyakinkan saya bahwa novel ini akan membahas tradisi yang ada di Indonesia dan saya tidak menyesal karena membacanya.
Namun sayangnya, saya butuh untuk membaca dua kali agar lebih memahami konflik yang ada. Alur yang maju-mundur ini sangat membingungkan jika kita tidak menghafal nama masing-masing tokoh, bahkan setiap tokoh tambahan menurut saya berpotensi menjadi konflik yang lebih besar namun sayangnya penulis tidak melanjutkan beberapa konflik dari tokoh tambahan tersebut dan memilih untuk membuat konflik tambahan baru seiring dengan bertambahnya halaman dan tokoh.
Poin plus nya, saya sangat menyukai silsilah tokoh utama di akhir halaman. Saya sangat menyarankan untuk kalian yang ingin membaca novel ini untuk melihat dan menelaah terlebih dahulu agar kita dapat menyelam dan menjelajah narasi ini lebih luas serta memahami detail-detail yang terselip dalam narasi.
Oh iya, beberapa kata dan kalimat dalam narasi tergolong vulgar sehingga tidak cocok untuk siswa dibawah 17 tahun, alangkah baiknya dibaca jika sudah mencukupi umur. Terlebih dari itu, narasi ini sangat menarik karena membahas isu yang cukup jarang dibahas.
​​​​​​​Saya akan menyarankan kalian untuk membacanya jika kalian tertarik untuk membaca sesuatu yang lebih berat dari novel biasanya.
Apalagi, jika menyikut mengenai sistem kasta dan adat. Beberapa orang akan memiliki pendapat yang berbeda dan dalam prinsip non-etis, tidak ada yang salah mengenai perbedaan pendapat kita. Mari berdiskusi lebih lanjut di kolom komentar dan berikan saya pendapat kalian juga ^^.
4 komentar
Suka banget! 😤😔
keren bangett🔥
Baguuss