
Dua Belas Pasang Mata
-
Ditulis olehKeiko Agatha
-
Dibuat tanggal
05 Jul 2024
-
Sekolah
SMP BPK Penabur Holis
Apa yang Bu Guru Lihat Hari ini?
Novel berjudul Dua Belas Pasang Mata merupakan karya fiksi karangan Sakae Tsuboi (1899-1967) yang hadir dalam terjemahan Bahasa Indonesia oleh Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Tsuboi-sensei telah menulis sejumlah novel fiksi hingga memenangkan berbagai penghargaan sastra. Kisah cerita Nijushi no Hitomi atau Dua Belas Pasang Mata pada tahun 1954 telah diabadikan di layar kaca. Tsuboi-sensei menarasikan kisah ini berdasarkan tempat kelahirannya dan pengalamannya saat masa perang, sehingga wajar saja jika kita takjub akan kelugasan penulis dalam mendeskripsikan latar tempat dan suasana cerita ini. Saya tertarik untuk membaca buku ini karena ingin membaca cerita bertemakan kesederhanaan dan kasih sayang serta hal ini terlihat sangat jelas pada sampulnya.
Sebelum mulai membahas buku ini, bagaimana jika kita mengingat-ingat sosok guru yang pernah atau saat ini sedang mengajar kita? Mungkin dari cara mereka berpenampilan, perhatian, kebiasaan, dan candaan yang sering mereka lakukan. Ya, itulah guru kita tercinta, yang memiliki pesona tersendiri dan membekas dalam ingatan kita. Hal-hal seperti inilah yang membuat kita cepat untuk mengingat sosok guru tersebut dibandingkan materi pelajaran yang disampaikan oleh mereka. Siapa yang begitu juga?
Demikian pula dalam novel setebal 248 halaman ini, mengisahkan tentang seorang guru dan muridnya. Miss Oishi yang ditugaskan untuk mengajar disebuah desa terpencil yang miskin. Sebagai guru baru, Miss Oishi berusaha menjadi guru yang berkesan di mata ke-12 muridnya dan beradaptasi dengan kehidupan desa tempatnya mengajar. Meskipun tahu dirinya ditolak karena memiliki penampilan yang berbeda dengan penduduk desa kebanyakan, Miss Oishi tetap tegar menghadapinya meskipun harus merasa dikucilkan, sakit hati, dan berbagai emosi lainnya. Tanpa disadari, perjuangan itu telah mengasah ketulusannya sebagai guru hingga akhirnya mampu menimbulkan rasa simpati dan disayang oleh murid-muridnya serta penduduk desa. Cerita tentang kehangatan, kesederhanaan, kasih sayang serta rasa empati digambarkan melalui keseharian guru dan murid dalam desa tersebut.
Di sisi lain mereka juga perlu belajar menghadapi kenyataan hidup yang berdatangan, termasuk situasi perang yang menimpa nasib seluruh penduduk desa. Para murid yang sudah mulai beranjak dewasa dan Miss Oishi harus berjuang hidup menghadapi masa-masa sulit yang memilukan. Situasi resesi, aksi ketidakmanusiawian terhadap anak dan korban perang, perpisahan bahkan dengan keluarganya sendiri menjadi hal yang tidak bisa dihindari.
Bagaimana relasi kehangatan dan kesederhanaan yang terjalin antara Miss Oishi dan ke-12 murid serta cara mereka menghadapi masa sulit akibat perang, dapat kita temukan ceritanya secara lengkap di dalam buku ini!
Kisah ini menggunakan alur maju yang mudah dicerna. Kemudian, cerita maupun ekspresi tokoh dapat tergambar jelas berkat gaya penulisan yang sederhana. Konflik yang disajikan tersusun mulai dari sederhana hingga ke yang lebih luas seperti kemiskinan dan pengaruh perang. Menurut saya, pada topik terakhir bahasa yang digunakan berambisi kuat, terutama menyangkut soal hak seorang anak dan hidupnya. Namun, seberat apapun topik yang digarap, tidak pernah melenceng jauh dari yang ingin disampaikan. Penggambaran karakter benar-benar diprioritaskan dalam buku ini, terutama dari sisi Miss Oishi di mana banyak nilai-nilai perjuangan yang bisa kita ambil, salah satunya dari kutipan berikut:
“Aku tidak akan pernah memberikan janji-janji kosong pada mereka.”
~Miss Oishi
Ke-12 murid Miss Oishi berperan besar membawa nuansa novel ini menjadi lebih hidup melalui kesehariannya yang penuh candaan ala anak ingusan. Mungkin titik kelemahan dalam novel ini ada di time skip yang sering terjadi dalam cerita, sehingga menimbulkan kesan terburu-buru.
Novel ini cocok untuk teman-teman yang mencari bacaan yang mudah dipahami dan menyentuh hati. Meskipun bersangkutan dengan sejarah masa lampau Jepang, bacaan ini tetap bisa dinikmati secara universal dan berbagai kalangan. Novel ini memberi saya pandangan baru kehidupan sederhana anak-anak yang harus dilanda masalah perang, sekaligus rasa kagum dengan perjuangan guru yang mengerahkan seluruh tenaga, waktu, hingga perasaan kasih sayang pada murid-muridnya.
0 komentar